Matamatanews.com, KHARTOUM—Meski berbagai badan kemanusiaan internasional dan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah menyerukan kedua pihak yang sedang bertikai di sudan untuk berdamai, namun tampaknya seruan itu tidak digubris. Buktinya, pada hari Minggu (17/9/2023) kemarin, ibukota Sudan dilanda kebakaran hebat dan pasukan paramiliter menyerang markas militer secara beruntun selama dua hari. Kini pertempuran di Sudan telah memasuki bulan keenam.
"Bentrokan sekarang terjadi di sekitar markas tentara dengan berbagai jenis senjata," kata seorang warga Khartoum kepada kantor berita Prancis, AFP yang menolak disebut namanya seperti dikutip media Pakistan, The Express Tribune.
Saksi mata lain di Khartoum selatan mengatakan mereka mendengar "dentuman besar" ketika tentara menargetkan basis paramiliter Pasukan Dukungan Cepat dengan artileri.
Para saksi juga melaporkan pertempuran di kota El-Obeid, 350 kilometer (sekitar 220 mil) ke arah selatan.Nawal Mohammed, 44 tahun, mengatakan pertempuran pada hari Sabtu dan Minggu antara tentara reguler dan paramiliter merupakan "yang paling kejam sejak perang dimulai".
Meskipun keluarganya tinggal setidaknya tiga kilometer jauhnya dari bentrokan terdekat, Mohammed mengatakan "pintu dan jendela bergetar" dengan kekuatan ledakan, sementara beberapa bangunan di pusat kota Khartoum dibakar.
Dalam unggahan media sosial yang diverifikasi oleh AFP, para pengguna berbagi rekaman api yang melahap landmark cakrawala Khartoum, termasuk kementerian kehakiman dan Greater Nile Petroleum Oil Company Tower - sebuah bangunan berbentuk kerucut dengan fasad kaca yang telah menjadi lambang kota.
Foto-foto lain menunjukkan gedung-gedung yang jendelanya hancur dan dindingnya hangus atau bopeng-bopeng akibat peluru.
"Sangat menyedihkan melihat lembaga-lembaga ini dihancurkan seperti ini," kata Badr al-Din Babiker, seorang penduduk di bagian timur ibu kota, kepada AFP.
Sejak perang meletus pada 15 April antara panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan mantan wakilnya, komandan RSF Mohamed Hamdan Daglo, hampir 7.500 orang tewas, menurut perkiraan konservatif dari Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata.
Warga sipil dan pekerja bantuan telah memperingatkan bahwa jumlah korban yang sebenarnya jauh lebih tinggi, karena banyak dari mereka yang terluka atau terbunuh tidak pernah sampai ke rumah sakit atau kamar mayat.
Sebuah komite sukarelawan pengacara pro-demokrasi pada hari Minggu mengatakan bahwa pertempuran di Khartoum sejak hari Jumat telah menewaskan puluhan warga sipil dalam "pengabaian berkelanjutan terhadap hukum kemanusiaan internasional".
"Kami sedang bekerja untuk menentukan jumlah korban sipil" dari "penembakan sewenang-wenang", kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan.
Perang di Sudan telah menghancurkan infrastruktur yang sudah rapuh, menutup 80 persen rumah sakit di negara tersebut dan menjerumuskan jutaan orang ke dalam kelaparan akut.
Lebih dari lima juta orang telah mengungsi, termasuk 2,8 juta orang yang melarikan diri dari serangan udara tanpa henti, tembakan artileri, dan pertempuran jalanan di lingkungan padat penduduk di Khartoum.
Jutaan orang yang tidak dapat atau menolak untuk meninggalkan Khartoum tetap tinggal di kota tersebut, di mana air, makanan, dan listrik dijatah.
Kekerasan juga telah menyebar ke wilayah barat Darfur, di mana serangan bermotif etnis oleh RSF dan milisi sekutunya telah memicu investigasi baru oleh Pengadilan Kriminal Internasional terhadap kemungkinan kejahatan perang.
Pertempuran juga terjadi di wilayah Kordofan selatan, di mana para saksi mata kembali melaporkan pada hari Minggu terjadi saling tembak artileri antara tentara dan RSF di kota El-Obeid.(dbud/ the express tribune/afp)
No comment