Matamatanews.com, JAKARTA—Meskipun kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa, ternyata masih banyak pihak memanfaatkan celah-celah hukum untuk memetik laba finansial, politik dan hukum dari si koruptor.Setiap kali ada pejabat, mantan pejabat atau tokoh yang diajukan sebagai tersangka kasus korupsi melalui jalur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun jalur Polri, Kejaksaan Agung, banyak pihak lalu ikut sibuk. Para pengacara berebut menjadi anggota kelompok pembela si tersangka, bahkan kalua perlu saling merampas kliean dalam kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat. Maka ada pameo ,’Pengacara maju tak gentar, membela yang bayar!’
Para pengacara mengincar para klien kelas kakap seperti pejabat yang dituduh korupsi, bukan tanpa alasan.Pertama, liputan media massa yang intensif terhadap kasus korupsi besar seperti mantan bendahara Partai democrat M.Nazaruddin, maupun birokrat yang terlibat adalah iklan gratis bagi para pokrol bambu (pengacara).Jika dinilai berhasil meringankan hukuman atau melahan bisa membebaskan kliennya, pengacara itu dijamin bakal laris manis.
Regulasi yang mengatur penanganan kasus korupsi di kepolisian dan kejaksaan memberi peluang bagi penyidik kedua instansi itu untuk tidak melanjutkan penyelidikan jika dinilai kurang bukti atau tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan. Tujuannya bagus, yaitu untuk membatasi jumlah kasus di pengadilan dan memungkinkan mereka yang tidak bersalah dibebaskan sebelum maju ke meja hijau. Namun peraturan tentang Surat Perintah penghentian Penyelidikan (SP3) itu juga bisa dimainkan untuk tawar-menawar dengan tersangka koruptor yang berkasus atau barang buktinya kurang kuat.
Sebaliknya Undang – Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memberi peluang bagi penyidiknya untuk menghentikan proses penyelidikan kasus yang sudah dibuka penyelidikannya berarti harus sudah memiliki bukti, saksi dan penuntutan yang kuat. Bahkan seseorang yang dipanggil KPK sebagai saksi sekalipun, bisa saja langsung ditetapkan menjadi tersangka dan bisa langsung ditahan bila penyidik yakin pada kasusnya.Disinilah tampaknya pengacara bisa bermain.
Mereka memanfaatkan ketakutan para birokrat, pengusaha swasta sampa ke akademisi kampus yang jarang berperkara pidana.sehingga mereka (pengacara) langsung disewa untuk selalu mendampingi di dalam proses hukum di KPK. Padahal si terperiksa belum tentu bersalah juga, tapi tagihan biaya pengacara kan sudah terlanjur berputar.
Aparat kepolisian, Kejaksaan dan juga (katanya) KPK pun bisa memanfaatkan ketakutan para tersangka untuk melakukan tawar-menawar bentuk tuduhan, masa tahanan yang akan dituntut sampai pasal-pasal yang diajukan. Nilainya bisa sampai puluhan miliar rupiah atau dihitung sebagai persentasi dari uang hasil korupsi yang berhasil ‘diamankan’ dari pengendusan aparat hukum.
Bahkan media massa pun bisa ikut kecipratan duit haram dari kasus-kasus korupsi di kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah kota besar di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan swasta, BUMN maupun para pejabat dan politisi yang dikaitkan dengan kasus korupsi bakal berusaha meredam berbagai berita miring tersebut.Caranya dengan memasang iklan memborong koran atau majalah berisi berita miring tersebut atau pun menawarkan kerjasama lainnya. Pokoknya tutup mulut deh!
Selain berkiprah secara langsung di ranah hukum, para pemain juga bbisa bergerak di luar gelanggang.Ketua Lembaga Ekonomi Islam (LEI) Abdurrahman Imbang Djaja Chairul, menenggarai adanya kampanye terselubung untuk mengubah paradigm hukum tentang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) menjadi kejahatan pidana yang biasa-biasa saja.
“ Jika hal itu terjadi, bisa dipastikan hukuman bagi koruptor akan semakin ringan , padahal statusnya sebagai pelaku kejahatan luar biasa . Saya setuju para korupror dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, bila dampak yang ditimbulkannya begitu merusak bagi perekonomian , pantasnya di jatuhi hukuman seumur hidup, bahkan bila perlu hukuman mati,” jelas Imbang, serius.
“Menurut saya yang berkepentingan dengan perubahan status hukuman itu bisa dimungkinkan adalah kelompok politisi, akademisi, pakar hukum hingga hakim. Imbang mencontohkan, masih adanya kelompok akademisi yang sering menggugat atau turut membantu melakukan gugatn perkara perdata tentang pasal-pasal UU KPK, UU Pemberantasa Korupsi, tata cara pemberian remisi atau bebas bersayarat ke Pengadilan Tata Usaha (PTUN), ke Mahkamah Agung (MA) atau bahkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya hanya untuk melemahkan efektifitas dan efisiensi kerja para penegak hukum anti rasuah.
Imbang juga menenggarai para hakim juga dapat menjadi bagian dari kelompok yang melakukan pergeseran paradigm tentang korupsi itu, semisal putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha (PTUN) yang membatalkan putusan pencabutan pembebasan bersyarat sejumlah narapidana perkara korupsi itu sangat keliru dan tidak bisa diterima akal sehat. Hal itu menunjukkan harus ada koreksi terhadap profesionalisme hakim, karena hakim telah mengalami gagal paham.
Masih ingat pada tahun 2011 lalu, ketika kecurigaan masyarakat tentang kiprah para politisi dalam kampanye terselubung untuk melemahkan penegakan hukum bagi kasus korupsi mulai meruyak ketika beberapa anggota DPR RI mengajukan Hak Interpelasi pada Desember 2011. Hak istimewa DPR itu dapat digunakan untuk meminta keterangan dari pemerintah atas kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Kini pemberian remisi di tengah rendahnya rata-rata hukuman pengadilan terhadap koruptor justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tercatat rata-rata hukuman koruptor sepanjang tahun 2010 berkisar antara 3 tahun 4 bulan, bahkan banyak yang dihukum 1 tahun lebih sedikit. Dan masih segar dalam ingatan ketika Mahmakah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi empat terdakwa pembunuhan berencana terhadap brigadier Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Vonis mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, dianulir dan dikurangi menjadi hukuman (Ferdy Sambo) pidana penjara seumur hidup,” kata Kabiro Hukum dan Humas MA Soebandi dalam konferensi pers di gedung MA , Jakarta, 8 Agustus 2023 lalu.
“Sebagai masyarakat bisa saja menerima dan menolak karena yang diukur itu rasa keadilan masyarakat yang merasa ada ketimpangan dan belum terpenuhi, tetapi dari sudut hakim yang memutuskan mungkin telah memenuhi sehingga pembatalan vonis Sambo dianggap layak,” jelas Imbang.
Apa pun dalihnya pemberian remisi maupun diskon hukuman di tengah rendahnya rata-rata hukuman pengadilan terhadap koruptor maupun pelaku pidana akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum itu sendiri. (bar)
No comment