Mengenal Lebih Dekat Pondok Pesantren Girikusumo

 

Matamatanews.com, DEMAK - Nama Giri Kusumo berasal dari kata Giri dan Kusumo yang memiliki arti, Giri yaitu Gunung sedangkan Kusumo yaitu Kembang. Dengan demikian Giri Kusumo jika diterjemahkan adalah kembangnya Gunung. Giri Kusumo didirikan pertama kali oleh Mbah Hasan Muhibal atau yang dikenal dengan panggilan Mbah Hadi.

Mbah Hadi adalah sosok orang yang santun dan cerdas, beliau masih keturunan Wali. Pada awalnya sebelum menyebar luaskan agama Islam, pada waktu malam hari ia mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membangun sebuah pusat pendidikan di tanah yang mirip dengan Mekah, yaitu di Jati Ngaleh, Kawengen dan disitulah menjadi pusat persinggahannya. 

Akan tetapi atas petunjuk Allah SWT juga, ia tidak jadi melanjutkan kegiatannya tersebut. Ia terus mencari dan berjalan ke  arah utara dan akhirnya ia sampai di daerah yang dimaksud yaitu sebuah hutan belantara yang dikelilingi oleh Gunung Ungaran, di sebelah Barat Gunung Slamet di sebelah Selatan Gunung Solo di sebelah Timur dan Bukit Kecil di sebelah Utara yang sekarang menjadi tempat pemakaman Mbah Hasan Muhibal (Mbah Hadi) yaitu di Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Di sanalah Mbah Hadi memulai membuka pusat pendidikan yang ditandai dengan didirikannya Masjid sebagai tempat siar Islam.

Pondok Pesantren ini didirikan oleh Syeikh Muhammad Hadi bin Thohir bin Shodiq bin Ghozali bin Abu Wasidan bin Abdul Karim bin Abdurrasyid bin Syaifudin Tsani (Kyai Ageng Pandanaran II) bin Syaifudin Awwal (Kyai Ageng Pandanaran I) pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1868 M. Pondok pesantern yang kini telah berusia 152 tahun itu merupakan perwujudan gagasan Syeikh Muhammad Hadi untuk membangun sebuah Lembaga Pendidikan yang menangani pendidikan akhlak (tasawuf) dan ilmu agama di tengan-tengah masyarakat. 

Untuk mendukungg gagasannya itu Syeikh Muhammad Hadi yang oleh para santri dan masyarakat disekitar Girikusumo Mranggen dipanggil dengan sebutan Mbah Hadi, Mbah Hasan Mukibat, Mbah Giri atau Kyai Ageng Giri, mendirikan sebuah bangunan masjid di ujung sebuah desa ditepi hutan. Menurut catatan prasasti di dinding bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan kayu jati itu dibangun hanya dalam waktu 4 jam, dimulai dari jam sembilan malam dan selesai pada jam satu malam itu juga. 

Prasasti yang ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa jawa itu berbunyi “Iki pengenget masjid dukuh Girikusumo, tahun ba hijriyah nabi ollallahu alaihi wasallam 1228 wulan rabiul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi saksekabehane wong ahli mukmin kang hadir taqobballahu ta’ala amin”.

Dengan bekal sebuah bangunan masjid yang lokasinya berada di kaki perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah Hadi memperiapkan kader-kader penerus perjuangan yang dirintisnya di kemudian hari. Demikian pula dengan anak dan keluarganya juga memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan. 

Perhatian ini dibuktikan dengan mengirimkan  putra-putranya ke berbagai Pondok Pesantren di Jawa Tengah maupun Jawa Timur yang mampu memunculkan generasi penerus semisal Kyai Sirajuddin dan Kyai Mansur. Selepas dari pondok, Kyai Sirajuddin ditunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah dirintis ayahnya, khususnya santri-santri muda, sementara santri tua / toriqoh tetap dipegang oleh Mbah Hadi. 

Namun Kyai Sirajuddin meninggal mendahului ayahanya. Sementara Kyai Mansur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya didaerah Solo, tepatnya di desa Dlanggu Klaten. Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruskan oleh adik kandung Kyai Sirojuddin yaitu Kyai Zahid.

Mbah Zahid sebagai generasi kedua hanya memimipin pondok dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 1961 tongkat kepemimpinan pondok diserahkan kepada anak tertuanya KH. Muhammad Zuhri yang oleh para santri dan masyarakat dipanggil dengan sebutan Mbah Muh Giri, dikarenakan kondisi kesehatanMbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967.

Di bawah kepemimpinan Mbah Muh inilah pondok Giri mulai mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dibidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama ini berjalan dengan sistem bandongan dilengkapi dengan sistem klasikal, sementara sistem lama tetap berjalan. 

Kepemimpinan Mbah Muhammad Zuhri berlangsung selama 19 tahun kemudian kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan putranya KH,. Munif Muhammad Zuhri. Pada tahun 1997 Kyai Munif mencoba mencari format baru untuk mengembangkan pendidikan di lingkungan pesantren Girikusumo yaitu dengan mendirikan sebuah Yayasan Kyai Ageng Giri dengan maksud membawahi lembaga-lembaga formal yang mengikuti program pemerintah. Hal ini didasarkan pada orentasi dan kebutuhan masyarakat akan formalitas dengan tidak meninggalkan ciri khas lembaga yang bernaung dibawah pesantren yaitu dominasi religiusitas kurikulum yang diterapkan di lembaga dibawah Yayasan. 

Adapun lembaga-lembaga yang telah didirikan adalah TK, SD, SMP, dan SMA. Dengan trobosan baru inilah akhirnya Pondok Pesantren Girikusumo mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga semakin hari semakin bertambah jumlah santrinya. Hingga kini Pondok Pesantren Girikusumo berhasil menyebarluaskan ajaran agama Islam hingga menerobos ke daerah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Lombok.

Keberadaan Pesantren Girikusuma tergolong cukup tua. Berdasarkan catatan yang menempel di dinding masjid, lembaga ini berdiri para 16 Rabiul Awwal 1288 H atau sekitar tahun 1836 M didirikan oleh KH. Hadi Siraj. Semasa remaja ia pernah bermukim di Mekkah dan belajar agama kepada Syeikh Sulaiman Moh. Zuhdi. Pondok pesantren ini lebih dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Sebagaimana umumnya pondok pesantren pada saat itu, pengelolaan pondok terfokus pada seseorang figur sentral yakni Kyai. Demikian pula halnya dengan pondok pesantren Girikusuma, pada saat pertama kali didirikan pondok pesantren ini langsung dipimpin oleh KH. Hadi Siraj. Setelah KH. Hadi Siraj wafat, secara turun temurun pengelolaan pondok pesantren di bawah kepemimpinan keturunan KH. Hadi.

Pada masa kepemimpinan KH. Hadi Siraj sampai cucunya KH. Zuhri Zahid, pondok pesantren ini menangani dua kegiatan pokok yaitu tarekat dan pengajian. Sedangkan pada masa kepemimpinan Moh. Munifi Zuhri dua kegiatan tersebut dipisah penanganannya. Ia menangani kegiatan tarekat (mursyid). Sedangkan kegiatan pengajian ditangani secara kolektif oleh KH. Munif, KH. Sonhaji, KH. Muharrar, dan KH. Mukhtar.

Setelah kakak Munif, Nadzif Zuhri pulang dari Universitas Madinah, dia diserahi tugas secara penuh untuk mengasuh pondok pesantren sendirian.Meskipun demikian dalam pelaksanaan pengajian para Kyai masih ikut menanganinya.

Pondok Pesantren Girikusuma benar-benar merupakan pondok pesantren salaf. Dalam kegiatan pendidikannya semata-mata hanya mengajarkan pendidikan agama. Materi pelajarannya tetap menggunakan kitab-kitab kuning. Pondok pesantren ini menamakan dirinya sebagai “Sekolah Islam Salaf” (SIS).

Sisitem pendidikan madrasah yang diselenggarakan adalah madrasah setingkat lanjutan pertama yang disebut dengan al-Marhalah al-Mutawassithah dan madrasah setingkat lanjutan atas yang disebut al-Marhalah al Tsanawiyyah. Pada kedua madrasah tersebut sepenuhnya mengajarkan pelajaran agama, kecuali bahasa Inggris sebagai pelajaran umum yang diberikan.

Kurikulum yang digunakan, sepenuhnya merupakan kurikulum susunan pondok pesantren sendiri. Kedua madrasah tidak memberikan ijazah sebagiamana lazimnya madrasah / sekolah yang diakui pemerintah. Kedua madrasah tersebut hanya mengeluarkan surat tanda selesai belajar tanpa akreditasi dari lembaga yang berwenang (Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional).

Namun demikian, pengasuhnya berharap agar kemampuan lulusan kedua madrasah tersebut dapat sejajar dengan kemampuan lulusan madrasah-madrasah dalam tingkatan yang sama sehingga kelak dapat melanjutkan pendidikannya. Materi yang diberikan pada pengajian rutin dan madrasah terdapat keterkaitanatau saling melengkapi. Kitab-kitab yang dipelajari dalam pengajian rutin adalah, Tafsîr al-Jalâlain, Tanwîr al-Qulûb, Riyâdh ash-Shâlihîn, al-Ghuniyyah, al-Ibânah ‘an Ush ad-Diyânah, al-Hikam, dan lain.

Saat ini yang menimba ilmu di pondok pesantren Girikusuma berjumlah sebanyak kurang lebih 700 orang. Dilihat dari keikutsertaannya dengan metode pengajaran, mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok klasikal dan kelompok tradisional, dengan 53 orang pembimbing yang terdiri dari seorang Kyai, sembilan badal (pembantu), dan 43 orang guru. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan terakhirnya, sebagian lulusan SLTA keagamaan atau Aliyah keagamaan plus pondok pesantren dan perguruan tinggi.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren Girikusumo dilengkapi 10 ruangan pengajian, 12 kamar asrama putra, delapan kamar asrama putri, sebuah masjid, perpustakaan, kantor kiai dan guru. Juga dilengkapi dengan lapangan olahraga seluas 165 M2. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan lahan seluas 2.306 M2. Semua fasilitas tersebut berdiri di atas lahan seluas 12.433 M2 yang keseluruhan merupakan tanah wakaf.

Sementara sumber dana untuk pembiayaan operasional proses pembelajaran di pondok pesantren ini, selain dari orang tua/wali santri, juga diperoleh dari berbagai sumber. Seperti donatur tetap dan tidak tetap, bantuan dari pemerintah maupun swasta. (Javi/berbagai sumber)

 

redaksi

No comment

Leave a Response