Komunitas Internasional Seakan Mandul Melihat Penderitaan Rohingya Tiada Akhir

Matamatanews.com, COX  BAZAR—Sedikitnya 21  orang komunitas Muslim Rohingya dikabarkan dijatuhi hukuman dua tahun penjara lantaran ketahuan mencoba melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine dimana masyarakat telah dikurung di kamp-kamp yang tidak layak huni .Dan pada 8 Oktober lalu, Siddiiue Ahmad, 65 tahun, anggota komunitas Rohingya, kedapatan tewas ketika pasukan keamana menembaki sekelompok nelayan di kota Buthidaung di negara bagian Rakhine di Myanmar. Siddique di tembak di bagian kepalanya dan tewas di tempat.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berulang kali mengajukan banding dan berteriak tentang perlakuan kejam tentara Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya, namun serangan maupun penangkapan yang sewenang-wenang masih terus berlangsung.

Penduduk desa yang menemukan mayat Ahmad diperintahkan pejabat militer setempat untuk tidak melakukan bedah mayat. Karena di intimidasi, penduduk desa segera menguburnya tanpa vefikasi polisi. Ratusan ribu orang Rohinga melarikan diri dari negara bagian rakhine pada 2015 lalu dan mereka tinggal di belakang perangkap di antara kekerasan yang dilakukan pasukan separatis Arakan dan militer Myanmar.

Pekan lalu, 21 anggota komunitas Rohingya dijatuhi hukuman dua tahun penjara setelah persidangan palsu satu hari, di mana terdakwa tidak diizinkan didampingi pengacara. Mereka adalah bagian dari kelompok dari 30 orang yang melarikan diri dari provinsi Rakhine menuju ke Yangon dalam upaya untuk mencapai Malaysia, kata laporan yang dilansir Al Mujtamaa Magazine. Mereka ditahan di bawah Undang-Undang Registrasi Penduduk Burma tahun 1949 yang kejam, yang memberlakukan pembatasan besar pada pergerakan Rohingya. Delapan anggota kelompok adalah anak-anak yang telah dipisahkan dari keluarga mereka dan dikirim ke 'sekolah pelatihan'. Keputusan belum diambil tentang kesembilan anak lima tahun tersebut.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa banyak orang Rohingya berusaha melarikan diri dari kondisi mengerikan di kamp-kamp di negara bagian Rakhine di mana mereka dikurung selama ini. Menurut sebuah laporan Amnesty, "Dikurung tanpa atap: Apartheid di Negara Bagian Rakhine Myanmar", situasi yang sedang berlangsung mirip dengan apartheid. Mereka yang berusaha melarikan diri juga akan dihukum dan diberikan sanksi berat bahkan kadang diperlakukan kurang manusiawi.

Menanggapi masih adanya perlakuan kejam dan kurang manusiawi terhadap komunitas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar oleh  sekelompok orang,baik militer maupun kelompok Arakan, pengamat dunia Islam dan pegiat bisnis untuk Timur Tengah dan Eropa, Imbang Djaja mengatakan bahwa kesemua itu membuktikan bahwa kepedulian komunitas internasional terhadap penderitaan  warga Rohingya yang terusir dari kampung halamannya masih sangat minim.

“Meski penderitaan orang-orang Rohingya yang terusir dari kampung halamannya belum berakhir, bahkan  kini semakin menderita tanpa perhatian, namun kepedulian komunitas internasional masih minim. PBB sendiri meski telah berulang kali menekankan pentingnya  pendekatan humanis dan akan memberikan sanksi terhadap Myanmar, namun buktinya hingga saat ini kekerasan dan kekejaman masih berlangsung,” kata Imbang.

Imbang menyayangkan sikap dan minimnya perhatian komunitas internasional terhadap penderitaan komunitas Muslim Rohingya, terutama negara-negara Muslim dunia yang seakan berpangku tangan menyaksikan penderitaan yang dialami para saudaranya yang kini tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox Bazar ,Banglades.

Sejauh ini, lanjut Imbang hanya Turki yang bersuara lantang menentang kekejaman tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, bahkan pemerintah Turki memberikan bantuan obat-obatan,selimut dan kebutuhan para pengungsi  Rohingya yang terusir tersebut.

“Bahkan ketika itu Turki berani mengatakan akan mengirimkan pasukan ke Myanmar bila tindakan kekejaman atas muslim Rohingya  terus berlangsung di Rakhine.Artinya, negara sekelas Turki saja berani dan mampu menunjukkan kepeduliaannya terhadap penderitaan yang dialami ribuan bahkan jutaan warga Rohingya, sementara  organisasi sekaliber dunia seperti PBB tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap Myanmar, keterlaluan. Dan negara seperti Arab Saudi sendiri ternyata juga tidak berani bersikap tegas seperti Turki, mereka hanya mengirimkan sejumlah bantuan dan pernyataan-pernyataan mendukung perdamaian,” jelas deputi IV bidang ekonomi dan perbankan Telsra untuk Timur Tengah dan Eropa kepada Matamatanews.com, Senin (14/10/2019) di bilangan Sawangan,Depok, Jawa Barat.

 

 

redaksi

No comment

Leave a Response