Kekerasan Terhadap Perempuan, Mitos Atau Fakta

Matamatanews.com, JAKARTA---Masalah kekerasan terhadap perempuan rasanya sulit diselesaikan dengan tuntas. Meskipun telah banyak usaha yang di lakukan, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di sekitar kita. Kesadaran masyarakat Indonesia yang masih rendah terhadap kekerasan terhadap perempuan mempunyai pengaruh besar bagi faktor fisik dan faktor kejiwaan korban.

Kekerasan terhadap perempuan di setiap tahunnya semakin meningkat. Berdasarkan riset tiga tahun belakang, temuan Catatan Tahunan (CATAHU) KOMNAS Perempuan mencatat 16.217 kasus kekerasan pada 2015, 259.150 kasus kekerasan pada 2015, dan 348.446 kasus kekerasan pada tahun 2017. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan melonjak drastis pada setiap tahunnya, apakah kondisi ini akan terus berlanjut?

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Banyak perempuan yang kemerdekaannya direnggut karena merasa takut dan akan terus menyembunyikannya. 

Pada 10 Januari 2018, terdapat kasus kekerasan oleh suami injak perut istri yang sedang hamil tua hingga sang bayi tewas. Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) telah menetapkan Kasdi (21) pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menginjak-injak perut istrinya, Lina Rahmawati (21) dengan kondisi hamil tua. Penyebab pelaku melakukan hal tersebut disebabkan oleh rasa cemburu dan beranggapan bahwa bayi yang berada di dalam kandungan sang istri sebagai darah daging orang lain dan terpaksa untuk lahir sebelum waktunya (sesar) lalu pada akhirnya meninggal dunia.

Di dalam kasus tersebut, Kasdi terjerat pasal berlapis yang disampaikan oleh Direktur Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta, yakni Pasal 338 KUHP, Pasal 44 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT dan pasal 80 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman dua puluh tahun penjara.

Menurut kepala pelayanan kesehatan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak) ada tiga dampak kekerasan terhadap perempuan yaitu dampak fisik (cedera, luka-luka, patah tulang, luka bakar, dsb.), psikologis (proses pikir, perasaan, dan perilaku), dan sosial (hubungan sosial yang tidak baik, masalah ekonomi, terisolasi, dsb.). Kasus kekerasan terhadap perempuan itu seperti gunung es, yang dilaporkan atau terdata hanya terlihat di permukaannya saja, karena biasanya sang pelaku merupakan orang terdekat, jadi jika dilaporkan dianggap sebagai beban atau aib keluarga. 

Upaya pemerintah kota Tangerang untuk menghadapi kekerasan terhadap perempuan telah berjalan seperti memberikan konseling edukasi dan informasi tentang kekerasan terhadap perempuan berdasarkan kelompok sasaran. Kekerasan terhadap perempuan mendapatkan efek  langsung: 5% dan kematian; 25 % dengan komplikasi serius (patah tulang, luka bakar, cacat menetap dsb) akibat perkosaan ( Kehamilan , terkena menyakit menular seksual), gangguan perkembangan kejiwaan dan gangguan perasaan (depresi).

Dan upaya untuk para korban kekerasan terhadap perempuan yaitu merujuk korban kekerasan kepada organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sesuai dengan persetujuannnya supaya mendapat pertolongan lebih lanjut. bila belum ada hubungan dengan saran tersebut maka dikembangkan suatu jaringan dengan kelompok LSM perempuan baik pemerintah maupun non pemerintah yang menyediakan bantuan bagi korban kekerasan, menyediakan ruangan yang memadai untuk menjaga kerahasiaan di sarana kesehatan dan memasang poster tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP). 

Untuk mengurangi adanya kekerasan terhadap perempuan, seperti yang tercantum di sila ke- 2 yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka masyarakat di Indonesia wajib mempunyai jiwa yang saling menghargai dan menghormati. Tidak boleh menganggap perempuan lemah dan meninggikan derajat lelaki sehingga bisa berbuat seenaknya karena menanamkan di benak pikiran jika lelaki mempunyai derajat lebih tinggi dan lelaki merupakan seorang pemimpin serta selalu menganggap perempuan lebih lemah daripada lelaki. Tidak hanya berlaku untuk para pria, perempuan juga harus mempunyai kepercayaan diri, tidak takut untuk mengungkapkan kebenaran, dan berani untuk melawan kekerasan.

Dan untuk seluruh masyarakat Indonesia, jika saling menghargai maka akan terbentuk satu kesatuan yang utuh dan menciptakan Indonesia yang damai.Lalu, apakah kekerasan terhadap perempuan akan terus berlanjut di Indonesia?*(Penulis adalah Zalfa Zaachira Fachrudin Mahasiswi London School of Public Relations Jurusan Public Relations/hen)

 

sam

No comment

Leave a Response