Jalawastu, Potret Sinergi Budaya dan Agama Yang Harmonis

 

Matamatanews.com,BREBES - Budaya Indonesia sangat beraneka ragam, mulai dari ras, suku, bahasa, budaya juga kepercayaan atau agama. Diantara sekian banyak suku bangsa yang ada di Indonesia diantaranya adalah suku Jawa dan suku Sunda, dimana baik suku Jawa maupun suku Sunda masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. 

Sepanjang sejarah kehidupan, ada kekuatan besar yang ada dalam diri manusia yaitu kepercayaan atau agama. Tidak jarang orang berani mengorbankan harta, pikiran dan tenaga hanya untuk mempertahankan kepercayaanya, bahkan orang berani mati untuk mempertahankan kepercayaan atau agamanya. Karena pada dasarnya kodrat manusia membutuhkan sebuah bentuk kepercayaan atau agama, dimana kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai atau norma untuk menopang sendi kehidupan dan kebudayaan.

Sebuah kepercayaan yang dianut oleh manusia akan melahirkan nilai-nilai, kemudian nilai-nilai tersebut akan melekat dalam sebuah tradisi, sehingga dalam tradisi tersebut akan menciptakan sebuah kepercayaan yang dianutnya.

Proses pertemuan agama dengan budaya di Indonesia telah melahirkan beragam ekspresi kebudayaan yang khas Nusantara seperti arsitektur bangunan, tari, musik serta perayaan keagamaan. Dengan proses semacam itu, agama tidak hadir sebagai penghangus budaya lokal, sebagaimana Islam hadir di Indonesia yang saat itu sudah merupakan peradaban dengan khasanah dan keragaman yang begitu kaya yang mengekspresikan kebudayaan Islam. Salah satu contohnya yaitu Kampung Adat Jalawastu yang terletak di Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. 

POTRET DUSUN JALAWASTU 

Desa Ciseureuh terdiri dari empat dusun yaitu, Dusun Ciseureuh, Dusun Salagading, Dusun Garogol dan Dusun Jalawastu. Mata pencaharian utama masyarakat Dusun Jalawastu adalah bertani. Dalam kesehariannya masyarakat Dusun Jalawastu hidup rukun dengan interaksi yang sangat kuat, semangat gotong royong masih terjaga dengan baik. 

Masyarakat Dusun Jalawastu semuanya beragama Islam, namun demikian masyarakat nya masih percaya terhadap animisme dan dinamisme. Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya tradisi atau kebudayaan tradisional yang tetap dilestarikan sampai sekarang karena mereka masih percaya terhadap hal-hal yang bersifat mistis dan mitos. 

 

Dusun Jalawastu memiliki tradisi yang masih dilaksanakan sampai saat ini yaitu tradisi Ngasa, tradisi pengobatan jampi-jampi untuk menyembuhkan teluh atau santet, tradisi sebelum bercocok tanam agar tanaman tidak terserang hama, tradisi untuk memohon turunnya hujan jika kemarau panjang, serta tradisi menghitung hari yang baik untuk suatu pekerjaan tertentu.

MITOS LEMAH KAPUTIHAN

Secara garis besar mitos Lemah Kaputihan/Tanah Suci dikisahkan sebagai berikut : 

"Dahulu kala ada seorang pengembara sakti bernama Ragawijaya yang bertapa di Gedong Sirap, Gunung Sagara (Gunung Kumbang) untuk meningkatkan ilmu dan kesaktiannya.

Pada saat Ragawijaya bertapa dan ilmunya semakin tinggi, Batara Windu Buana merasa sudah waktunya memberi Ragawijaya pusaka. Kemudian Batara Windu Buana mengutus Guriang Pantus untuk memberikan pusaka pemberiannya kepada Ragawijaya, pusaka tersebut berupa tiga buah guci.

Guci tersebut adalah Guci Belanda, Guci China dan Guci Sunda/Jawa. 

Setelah mendapat pusaka tersebut, Ragawijaya harus tinggal di tempat itu karena telah terikat dengan Batara Windu Buana. Kemudian Ragawijaya disuruh turun dari Gunung Sagara karena tempat tersebut merupakan tempat tinggal para Dewa. 

Setelah turun, lalu Ragawijaya membangun tempat tinggal di Pasarean Gedong Petilasan.

Ragawijaya diberitahu bahwa Gunung Sagara dan Pasarean Gedong merupakan tanah Lemah Kaputihan yang artinya tanah tersebut merupakan tanah suci tempat tinggal para Dewa dan Wali, sehingga tidak boleh berkata dan berperilaku kotor karena yang diucapkan bisa menjadi kenyataan". 

Mitos Lemah Kaputihan lahir saat zaman Hindu, namun saat Islam masuk, mitos ini tetap dipertahankan. Mitos ini berisi sejumlah pantangan, yaitu pantangan memakai genteng, batu-bata dan semen ketika membuat sebuah bangunan, tidak diperbolehkan memelihara angsa, kerbau dan kambing gimbas jika beternak, dan tidak diperbolehkan menanam bawang, dan kacang tanah jika bercocok tanam. 

Dilihat dari sudut pandang masyarakat, mitos ini diyakini dan dilakukan oleh masyarakat karena guci pusaka dibuat dari tanah/lemah kaputihan sehingga mereka tidak berani melanggar pantangan yang telah diwasiatkan saat guci tersebut diciptakan oleh Batara Windu Buana dan diberikan kepada Ragawijaya. Oleh karena itulah sampai saat ini masyarakat tetap meyakini mitos tersebut dan tidak berani melanggarnya, karena tanah yang mereka tempati juga merupakan tanah/Lemah Kaputihan.

KERAGAMAN BUDAYA DAN AGAMA 

Islam pertama kali masuk Dusun Jalawastu dibawa oleh Syarif Hidayatullah. Saat Islam masuk, Pasarean Gedong juga dijadikan tempat tinggal oleh para Wali selama mereka menyebarkan agama Islam di Dusun Jalawastu dan tempat-tempat sekitarnya. Tokoh-tokoh yang singgah dan tinggal di Pasarean Gedong tersebut diantaranya yaitu Panatanagara, Mbah Buyut Panatanegara, Mbah Buyut dari Jawa dan Mbah Sangkan Urip Cakra Buana, tokoh wali tersebut masih saudara dengan Syarif Hidayatullah.

ENTITAS BUDAYA DAN AGAMA

Dilihat dari sudut pandang penelitian secara akademis/teoritis, sebenarnya mitos tersebut ingin mengungkap tentang penguatan identitas budaya masyarakat Dusun Jalawastu, yaitu sinkretisasi dalam bidang etnis dan agama. Sinkretiasasi yang terjadi menyebabkan masyarakat meyakini kebenaran struktur kognitif mitos tersebut, masyarakat takut melanggar kebenaran mitos tersebut, sehingga sampai saat ini mitos tersebut masih diyakini oleh masyarakat Dusun Jalawastu.

Mitos tersebut banyak dipengaruhi oleh sinkretisme etnis dan sinkretisme agama. Hal ini nampak dalam berbagai aktivitas budaya masyarakat seperti adanya kepercayaan terhadap Pasarean Gedong Petilasan dan Gunung Sagara sebagai tempat yang sakral. Tradisi Upacara Ngasa yang dilaksanakan di Pasarean Gedong Petilasan setiap setahun sekali harus dilaksanakan pada hari selasa kliwon di bulan Maret (Mangsa Kasanga).

Sebagai penganut agama Islam, mereka taat beribadah dengan melaksanakan kewajiban sebagai umat Muslim yaitu shalat, namun demikian mereka juga tetap meyakini kegiatan-kegiatan atau tradisi adat leluhurnya. Sinkretisme etnis dan religi yang menjadi Deep Structure dari mitos Dayeuh Lemah Kaputihan dapat dijadikan dasar argumentasi dalam melihat dinamika kehidupan masyarakat Dusun Jalawastu saat ini. (Wisnu, berbagai sumber) 

 

redaksi

No comment

Leave a Response