Matamatanews.com.JAKARTA—Sejarah pelecehan terhadap wanita muslim berawal dari Kan’an,Mesir,ketika penguasa Mesir dipimpin Muhammad Ali Basya mengadakan program pengiriman mahasiswa muslim ke Perancis. Di antara mereka yang dikirim adalah Rif’at Rafi’ Ath-Thahthawi (w.1290 M). Dialah yang pertama kali menyebarkan bibit propaganda terhadap emansipasi wanita ini sepulangnya dari Prancis. Lalu mulailah gerakan setan ini diteruskan oleh para pewarisnya di segala penjuru negeri Islam.
Tidak bisa dipungkiri sejarah pelecehan terhadap wanita muslim berawal dari Mesir dimotori Huda Sya’rawi, wanita pemilik salon yang selalu siap menerima siapa saja,baik laki-laki maupun wanita dirumahnya. Huda Sya’rawi adalah putri Muhammad Basya Sulthan, salah seorang terkaya pada masanya.
Awalnya dia termasuk wanita terhormat,ketika merantau ke Perancis untuk menuntut ilmu ia mengenakan pakaian lengkap dengan busana muslimah yang menutupi seluruh tubuhnya. Tetapi setelah ia kembali ke tanah kelahirannya,Mesir, dalam keadaan yang jauh berbeda.Ia kembali dalam keadan nyaris telanjang..
Busana aslinya telah ditanggalkan seluruhnya. Mendengar kedatangan putri tercinta, sang ayah sangat gembira. Ditemani sejumlah rekannya ia bertandang ke pelabuhan Iskandariyah untuk menjemputnya. Namun,ketika baru turun dari tangga kapal,betapa malu dan berang sang ayah, ia tahu bahwa putrinya pulang nyaris telanjang, dan dengan perasaan galau bercampur geram ia bergegas pulang tanpa menghiraukan sekelilingnya.
Sikap ayah tidak setuju terhadap tindakan dan perbuatannya itu tidak digubris dan dianggap angin lalu,dahn tidak menjadikan ia harus mundur. Dai tetap berpenampilan cuek meski membawa tradisi dan adat istiadat baru yang diperolehnya dari Perancis. Dan ternyata dalam kurun relatif singkat banyak wanita Mesir yang m eniru mode busananya yang minim, bahkan kaum lelaki yang getol menggembar-gemborkan semangat emansipasi wanita mendukung dan mendendangkannya lewat gubahan puisi maupunprosa yang dipublikasikan melalui berbagai media massa dan bertebaran di berbagai surat kabar.
Pertemuannya dengan kaum lelaki yang s angat mengesankan di salonnya atau senyum manis menawan setiap pria yang memandang, sangat mendukung kairnya. Sejumlah uang telah disuapkan ke sejumlah para kuli tinta, agar ia mengekspos senyum manis,kelemah-lembutan,kelincahan dan keramahtamahannya dalam menerima tamu laki-laki, atau agar menurunkan tulisan tentang betapa pentingnya kumpul kebo dan gerakan emansipasi tersebut bagi kemajuan kaum wanita.
Puncak paling dramatis sekaligus tragis dari semua itu terjadi ketika kaum wanita mengadakan demonstrasi di lapangan Isma’iliyah dekat sungai Nil persis di depan asrama militer Inggeris pada tahun 1919 M.Ketika itu api pemberontakan di Mesir tengah menyala berkobar-kobar. Sepanjang jalan protokol di Kairo dan sejumlah kota lainnya dipenuhi para demonstran yang sedang sibuk menentang penjajah Inggeris di negara itu. Mereka menuntut Inggeris secepatnya gulung tikar dari Mesir,bila tidak, bagi mereka lebih memilih mati berkalang tanag daripada terinjak-injak di bawah kaki para penjajah.
Di sela-sela gelombang demonstrasi yang cukup dahsyat itu muncul demonstrasi kaum wanita di bawah pimpinan Shafiyah Zaghlul, isteri Sa’ad Zaghlul. Mereke berkumpul di depan Istana Nil,asrama dan tempat mangkalnya pasukan militer Inggeris,menuntut kemerdekaan dan sekaligus sebagai aksi protes. Tanpa dikomando,mereka menanggalkan jilbab dan mencampakkannya di atas tanah kemudian disirami minyak tanah dan dibakar habis,maka bebaslah kaum wanita.
Orang-orang berdecak kagum sambil terperangah heran menyaksikan peristiwa yang seakan tidak bisa diterima akal sehat manusia. Kini pertanyaannya, apa hubungannya antara demonstrasi terhadap penjajah Inggeris dengan tuntutan Mesir merdeka? Lalu apa hubungannya aksi penanggalan dan pembakaran jilbab? Inggeriskah yang telah mewajibkan wanita Mesir memakai jilbab dengan cara menjajah dan menindas, hingga dengan bercokolnya penjajah Inggeris itu sekaligus sebagai alasan bagi kaum wanita untuk menanggalkan jilbab yang telah diwajibkan kepada mereka oleh pasukahn Inggeris? Apakah penjajah Inggeris yang menjadikan wanita Mesir itu berjilbab selama tiga belas abad silam?
Ataukah sejak saat itu merampas hak-hak asazi kaum wanita dalam memakai cadar, sehingga tibalah saatnya mereka menuntut pembebasan dari pejabakan penindasan dan penjajahan dengan cara menanggalkan jilbab sebagai aksi protes bagi mereka? Apa dasar logikanya dalam peristiwa dramatis ini? Sebenarnya itu merupakan alasa yang dicari-cari dan dipaksakan,tidak logus dan kurang rasional. Tetapi pengalaman mengajarkan kepada kiota bahwa jalan fikiran yang tidak logis itu yang justru merupakan metode dan styrategi paling handal untuk menghancurkan Islam.
Huda Sya’rawi bukan orang pertama penyebar propaganda emansipasi, Rif’at Rafi’ Ath-Thahthawi-lah pelopornya. Dialah orang pertama penyebar bibit propaganda terhadap emansipasi wanita sepulangnya dari Prancis. Lalu gerakan setan ini diteruskan para pewarisnya di segala penjuru negeri Islam. (samar/berbagai sumber)
No comment