Fenomena Serangan Semut Di Desa Pageraji, Cilongok

 

Matamatanews.com, BANYUMAS -Beberapa hari belakangan ini santer pemberitaan di media massa perihal miliaran ekor semut menginvasi berbagai rumah penduduk di salah satu RT di Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.

Dosen Fakultas Biologi Unsoed Dr.Trisnowati Budi Ambarningrum,MSi. mengatakan bahkan invasi semut sudah merambah ke wilayah RT tetangga. Selain menginvasi rumah-rumah penduduk semut-semut tersebut juga telah bersarang di pelepah pohon kelapa, hal ini menyebabkan aktivitas para penderes nira kelapa terganggu dan menghentikan aktivitas menderesnya. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan bagi para penderes dan penurunan produksi gula kelapa.

Dr.Trisnowati yang juga Kepala Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fak.Biologi Unsoed ini memaparkan bahwa semut di ekosistem alami mempunyai peranan penting sebagai predator, herbivore, scavenger, dan detritivor. Namun adanya pemekaran suatu wilayah akibat urbanisasi mengakibatkan perubahan habitat bagi organisme yang menghuni wilayah tersebut.

Lebih lanjut Dr.Trisnowati Budi Ambarningrum,MSi. menjelaskan dari hasil pengambilan sampel di beberapa titik di lapangan dan dilakukan identifikasi maka diduga jenis semut yang menyerang salah satu RT di Desa Pageraji tersebut adalah jenis Tapinoma sessil (semut bau). Semut ini berwarna hitam  kecoklatan dengan ukuran panjang berkisar 2.4 - 3.2 mm, dengan satu tonjolan kecil di bagian petiolanya, namun tonjolan kecil tersebut tidak nampak, karena tertutup oleh pangkal abdomen. Antena terdiri dari 12 ruas tanpa club di bagian ujung antena. 

"Di habitat alami sarangnya ada di tanah, di bawah bebatuan, maupun tumpukan kayu, tetapi dapat bersarang di bawah kulit/pelepah tumbuhan, di liang mamalia, dan di tumpukan sampah. Sarang di tanah tidak terbatas bentuknya dan biasanya tidak permanen. Di dalam ruangan, sarang banyak dan tersebar di seluruh bangunan, terutama di bagian-bagian bangunan yang retak, di plafon, di kayu yang rusak akibat rayap, dan di bagian-bagian lain yang lembab, " terangnya.

Alumni Program Doktor Biologi SITH (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati) ITB Bandung ini menambahkan, semut merupakan serangga sosial yang dalam koloninya terdiri ratu, jantan, dan pekerja. Pada habitat yang alami semut jenis ini membentuk koloni dengan satu ratu, dengan anggota koloni berkisar ratusan individu. Namun pada habitat urban dengan kondisi lingkungan yang mendukung semut ini dapat membentuk poligini (terdiri dari lebih satu ratu), polidomi/ sarang multiel (satu koloni mendiami banyak sarang dalam satu pohon maupun pada pohon yang berbeda), serta dominasi ekologis atas semut jenis yang lainnya. Jenis semut ini sangat oportuni dan sangat plastis dengan struktur sosial yang fleksibel, mudah beradaptasi pada lingkungan permukiman (Buczkowski & Krushelnycky, 2016).

Dikatakannya, pada kondisi koloni yang normal semut ini tidak sulit untuk dikendalikan. Jika ditangani lebih awal, jumlah mereka dapat dikendalikan hanya dalam beberapa hari. Namun, semakin lama koloni diabaikan, semakin besar populasinya dan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengendalikan jenis ini, mungkin butuh waktu beberapa minggu. 

Pada kondisi yang normal lanjut Dr.Trisnowati, pengendalian dan mencegah migrasi dapat dilakukan secara non kimia yaitu dengan sanitasi lingkungan antara lain genangan air di dalam rumah harus dihilangkan, karena semut ini tertarik pada kelembaban.

"Tanaman harus dipangkas dan jauh dari bangunan, sehingga tidak menjadi jalur yang nyaman untuk masuk. Retak, lubang, dan sambungan harus ditutup dengan dempul, terutama yang berada di dekat tanah. Kayu bakar, batu, dan bahan lainnya tidak boleh disimpan di sebelah rumah karena menyediakan tempat untuk membangun sarang di dekat rumah. Pada kondisi populasi out break maka pengendalian harus dilakukan secara kimiawi, dan yang paling efektif adalah menggunakan umpan yang mengandung insektisida yang bekerjanya secara slow action," katanya.

"Sampai saat ini tim dari Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Biologi Unsoed masih terus melakukan eksplorasi di lapangan di antaranya melihat kemungkinan adanya semut jenis lain, distribusi semut, asosiasi semut dengan serangga lainnya, serta fenomena lain yang ditemukan di wilayah terdampak, " kata Anggota Perhimpunan Entomologi Kesehatan Indonesia (PEKI) ini mengakhiri. (hen)

 

redaksi

No comment

Leave a Response